FIKIH
SEPUTAR WUDHU, SHOLAT DAN PUASA
Disusun Oleh :
Mohamad Sihabudin, M.Pd.
1.
Pengantar Ilmu
Perlu diketahui bahwa ada tiga
ilmu penting yang hukumnya wajib untuk dipelajari oleh setiap orang yang
mengaku dirinya sebagai muslim sejati. Diantarnya adalah ilmu tasawuf ( akhlaq
), ilmu akidah atau tauhid dan ilmu
fikih yang akan dibahas pada makalah ini.
Pada makalah ini kita akan khusus
mempelajari Sebagian kecil dari ilmu fikih yaitu ilmu tatacara dalam beribadah
kepada Allah baik ibadah yang langsung kepada Allah atau ibadah yang tidak
langsung. Dengan mempelajari ilmu fikih, manusia akan mengetahui bagaimana
tatacara berwudhu, sholat, puasa, ibadah haji bahkan sampai tatacara bersuci.
Kita wajib tahu bagaimana tatacara beribadah kepada Allah
yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist. Ilmu fikih ini sangat penting
contohnya tatacara berwudhu, apabila wudhu kita tidak sah maka sholat pun tidak
akan sah dan apabila sholatnya tidak sah maka tidak akan diterima oleh Allah
SWT.
2.
WUDHU
Berikut
merupakan dali perintah berwudhu sebelum shalat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِييَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إإِلَى
الْكَعْبَيْنِ
Artinya: Wahai orang yang beriman, bila kalian hendak shalat, basuhlah
wajah kalian, tangan kalian hingga siku, usaplah kepala kalian, dan (basuhlah)
kaki kalian hingga mata kaki (Surat Al-Maidah ayat 6).
Selain itu Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam hadits yang
menerangkan penolakan shalat tanpa bersuci. لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ
Artinya: Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (HR
Muslim).
a.
Syarat – syarat dan Rukun –
rukun Wudhu
Syarat Sah Wudhu |
Rukun Wudhu |
Beragama islam |
Niat |
Tidak berhadas besar |
Membasuh Muka |
Menggunakan Air suci dan menyucikan |
Membasuh Tangan sampai sikut |
Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit |
Mengusap sebagian kepala |
Tamyiz (bisa membedakan baik dan buruk) |
Membasuh kaki sampai mata kaki |
|
Tertib ( berurutan ) |
b.
Hal – hal Yang Membatalkan
Wudhu
Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, seorang ulama mazhab Syafi‘iyah dalam
kitabnya yang berjudul Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun) Halaman
25-27 menjelaskan, ada 4 hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang
berada dalam keadaan hadats, yaitu sebagaimana berikut:
1)
Keluar Sesuatu dari Qubul dan Dubur
Selain sperma, apa pun yang keluar dari lubang qubul
(kelamin) dan dubur (anus) baik berupa air kencing, angin atau kotoran, barang
suci atau najis, kering atau basah, dan sebagainya, itu semua bisa membatalkan
wudhu. Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak membatalkan wudhu,
namun yang bersangkutan wajib melakukan mandi junub.
Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“.... salah seorang di antara kamu kembali dari
tempat buang air,”.
2)
Hilang Akal
Orang yang hilang akal atau kesadarannya entah itu
karena tidur, gila, mabuk, atau pingsan maka wudhunya menjadi batal. Rasulullah
Saw bersabda:
فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu
Dawud)
Namun demikian, ada tidur yang tidak membatalkan
wudhu, yaitu posisi tidurnya duduk dengan menetapkan pantat pada tempat
duduknya sehingga tidak memungkinkan keluarnya kentut.
3)
Bersentuhan Kulit
Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang
keduanya telah baligh, bukan mahram, dan tanpa penghalang bisa membatalkan
wudhu. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“... atau kalian menyentuh perempuan.”
Adapun sentuhan kulit yang tidak membatalkan wudhu
adalah antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, dan
laki-laki dengan perempuan yang menjadi mahramnya. Selain itu, wudhu juga tidak
menjadi batal ketika terjadi sentuhan yang terhalang oleh sesuatu, misalnya
kain.
Demikian pula tidak batal wudhunya bila seorang
laki-laki yang sudah baligh bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang
belum baligh atau sebaliknya. Lalu bagaimana dengan wudhu sepasang suami istri
yang bersentuhan kulit?
Wudhu tersebut menjadi batal karena pasangan suami
istri bukanlah mahram. Seorang perempuan disebut mahram jika perempuan tersebut
haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki. Sebaliknya, seorang perempuan
disebut bukan mahram bila boleh dinikahi oleh seorang laki-laki.
Sepasang suami istri adalah dua orang berbeda jenis
kelamin yang boleh menikah. Karena keduanya diperbolehkan menikah alias bukan
mahram, maka saat bersentuhan kulit tentu wudhunya menjadi batal.
4)
Menyentuh Qubul dan Dubur ( untuk buang air kecil dan untuk
buang air besar)
Menyentuh kemaluan dan lubang dubur manusia dengan
menggunakan bagian dalam telapak tangan bisa membatalkan wudhu. Rasulullah
bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka
berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Wudhu seseorang bisa menjadi batal dengan menyentuh
kemaluan atau lubang dubur manusia, baik dari orang yang masih hidup atau sudah
mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau dewasa, sengaja atau tidak
sengaja, atau kemaluan yang disentuh itu telah terputus dari badan. Adapun
wudhu orang yang disentuh kemaluannya tidak menjadi batal kecuali jika keduanya
sudah baligh sebagaimana pada poin ketiga.
Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal jika
menyentuh kemaluan dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan atau
menggunakan perantara benda, seperti pakaian, kain, kayu, dan sebagainya. Wallahu a‘lam
3.
SHOLAT
Syarat Shalat
Lazim diketahui bahwa syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat wajib dan
syarat sah. Syarat wajib ini maknanya, seseorang tidak dibebani kewajiban
shalat ketika salah satu dari syarat-syaratnya tak terpenuhi.
1. Beragama Islam
2. Balig
3. Berakal sehat,
4. Tidak sedang haid atau nifas,
5. Mendengar informasi ihwal dakwah Islam (Ini nyaris tak ditemukan
sekarang), dan
6. Memiliki pengelihatan dan pendengaran yang normal
Dampaknya, tidak
wajib shalat bagi yang tunanetra dan tunarungu sejak lahir. Sebab ia tak dapat
menerima pelajaran shalat baik dengan isyarat atau kalimat.
Syarat sah itu sendiri, sebagaimana Syekh al-Islam Abu Zakariya al-Anshari (925
H) dalam Tuhfah at-Thullab bi Syarhi
Tahriri Tanqih al-Lubab, adalah ma tatawaqqafu ‘alaiha shihhatusshalah wa laisat minha, sesuatu yang menjadi barometer sah dan tidaknya shalat.
Artinya, bila ini tidak terpenuhi, maka berdampak pada ketidakabsahan
shalat.
Terkait ini, Habib
Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut an-Nafis fi Madzhab Ibni Idris (halaman 140-147) membahas 15 syarat shalat secara rinci
dan gamblang.
Syarat shalat
adalah;
1. Beragama Islam
2. Mumayyiz (syarat ini untuk mengecualikan orang gila dan anak
kecil yang belum mengerti apa-apa)
3. Sudah masuk waktu shalat
4. Mengetahui fardhu-fardhu shalat
5. Tidak meyakini satu fardlu pun sebagai laku sunnah
6. Suci dari hadats kecil dan besar
7. Suci dari najis, baik pakaian, badan, maupun tempat shalat
8. Menutup aurat bagi yang mampu (dengan batasan tertentu bagi
perempuan dan laki-laki)
9. Menghadap kiblat (kecuali bagi musafir yang melaksanakan shalat
sunah, orang yang dalam kecamuk perang, dan orang yang buta arah ‘isytibahul
qiblah’).
10. Tidak berbicara selain bacaan shalat
11. Tidak banyak bergerak selain gerakan shalat (Imam Syafi’i membatasinya
tiga gerakan)
12. Tidak sambil makan dan minum
13. Tidak dalam keraguan apakah sudah bertakbiratulihram atau belum
14. Tidak berniat memutus shalat atau tidak dalam keraguan apakah akan
memutus shalatnya atau tidak.
15. Tidak menggantungkan kebatalan shalatnya dengan sesuatu apa pun
Rukun Shalat
Dalam sebuah hadits dikatakan, shallu kama
ra’aitumuni ’ushalli, shalatlah sebagaimana engkau melihat diriku
melakukannya. Hadits sahih riwayat al-Bukhari ini mengajarkan bahwa tidak ada
cara shalat selain seperti yang pernah Nabi lakukan berdasarkan riwayat para
sahabatnya.
Dan, para ulama
berhasil merumuskan fardlu atau rukun shalat menjadi 15 (dengan menghitung
tiap-tiap thuma’ninah [tenang, tak bergerak sejenak] sebagai satu rukun).
Berikut rinciannya;
1. Niat
2. Takbiratulihram
3. Memasang niat bersamaan dengan takbiratulihram
4. Berdiri bagi yang mampu (hal ini berdasarkan hadits al-Bukhari yang
artinya, ‘Shalatlah dengan cara berdiri,
bila tak mampu, maka boleh duduk. Bila tidak mampu juga, boleh sambil tidur
miring’.
Ada tambahan dalam riwayat an-Nasa’i, ‘jika
masih tidak mampu, boleh dengan terlentang, Allah tidak membebani seseorang di
luar kemampuannya’)
5. Membaca surah al-Fatihah (berdasar pada hadits La shalata li man lam yaqra’ bi fatihatil kitab, “Shalat tak akan sah bagi yang tidak membaca surah
al-Fatihah”. Bila tidak mampu, boleh membaca ayat lain yang diketahuinya. Jika
masih tak mampu, boleh berdzikir atau membaca doa-doa, dan pilihan terakhir
kalau tetap tak mampu adalah berdiam sekadar waktu membaca surah
al-Fatihah)
6. Rukuk
7. I’tidal
8. Sujud
9. Duduk di antara dua sujud
10. Thuma’ninah dalam empat rukun sebelumnya (rukuk, i’tidal, sujud, dan
duduk di antara dua sujud)
11. Tasyahhud akhir
12. Membaca shalawat Nabi setelah tasyahhud akhir
13. Melafalkan salam
14. Duduk untuk membaca tasyahud akhir, shalawat Nabi, dan salam
15. Tertib dalam melakukan semua rukun di atas
Rincian-rincian ini
merupakan hal yang harus dipenuhi dalam shalat lahiriah. Adapun untuk shalat
batiniah, satu hal yang tak boleh hilang, yaitu kesadaran akan esensi
kerendahan kita sebagai hamba di hadapan keagungan Tuhan (rububiyyah).
Inilah yang kita kenal dengan khusyuk. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah
ayat 45:
وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى
الْخٰشِعِيْنَۙ
Artinya: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.
Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Imam Fakhruddin
ar-Razi (604 H) mengatakan, khusyuk adalah at-tadzallul wa al-khudhû’ (memperlihatkan esensi kerendahan dan ketundukan) kepada Allah
SWT.
Terkait penggalan
terakhir ayat di atas, sang mufasir kenamaan asal Iran ini, dalam masterpiece-nya Mafâtîhul Ghaib (juz 3, halaman 50)
menjelaskan maksud ayat dan latar belakang ketidakkhusyukan seseorang dalam
shalatnya. Ia mengatakan:
وإنما المراد بقوله: وإنها ثقيلة على من لم
يخشع أنه من حيث لا يعتقد في فعلها ثوابا ولا في تركها عقابا فيصعب عليه
فعلها
Artinya: Maksud dari kalimat: ‘Shalat itu berat bagi yang tidak khusyuk’,
yaitu dilihat dari aspek ketika ia tak meyakini pahala karena melakukan shalat,
dan siksa karena meninggalkannya, sehingga tentu berat rasa saat melakukannya.
Orang yang tidak
mantap hati melihat kesungguhan Allah memberi ganjaran terbaik-Nya (pahala)
bagi yang khusyuk, juga siksa terberat-Nya bagi yang meninggalkan, pastilah
akan merasa berat melakukan shalat. Logika sederhananya, menurut ar-Razi,
sungguh absurd bila seseorang rela sibuk lagi rutin melakukan sesuatu yang
baginya tiada berguna sama sekali. Namun, bagi yang merasa bahwa hal itu sangat
penting, bahkan pada dirinya terdapat candu spiritual (al-‘isyqu), pastilah
akan ringan dan membahagiakan. Sehingga, tepat ketika Al-Qur’an menyifati
mereka dengan lakabîrotun (rasa teramat berat).
Ada banyak kisah
kekhusyukan shalat para ulama shalafuna
as-shalih yang bisa menjadi perenungan. Seperti kisah Dzun-Nun
al-Mishri (180 H) yang ketika mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dalam shalat, ia
tersungkur lemas tanpa tenaga seakan raga tanpa nyawa. Juga seperti kisah Abu
Sa’id Abul Khair Aqta’ (1049 M) yang pernah mengidap penyakit gangrene dan
diamputasi—berdasarkan saran dari para muridnya yang mengetahui kondisi
spiritual sang guru—saat ia tengah khusyuk dalam shalatnya.
4.
PUASA
Syarat Puasa |
Rukun Puasa |
Beragama Islam |
Niat Puasa Ramadhan
Pada Malam Hari |
Baligh (ciri-ciri
balighnya laki-laki dan perempuan berbeda. Bisa dilihat di ilmu fikih) |
Menahan Diri Dari
Segala Sesuatu Yang Membatalkan |
Berakal Sehat |
|
Mampu dan Kuat Berpuasa |
|
Mengetahui Awal Masuk
Bulan Ramadhan |
|
Hal – hal yang
Membatalkan Puasa :
1.
Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara
sengaja. Artinya, jangan sampai ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui
salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam (jauf) seperti mulut,
hidung, dan telinga. Jika hal itu tidak sengaja, maka puasa tetap sah.
2. Berobat dengan cara memasukkan obat atau benda melalui qubul (lubang bagian
depan) atau dubur (lubang bagian belakang). Seperti pengobatan bagi orang yang
menderita ambeien atau orang yang sakit dengan pengobatan memasang kateter
urin.
3. Muntah dengan disengaja. Orang yang muntah karena tidak disengaja
maka puasanya tidak batal selama tidak ada muntahan yang ditelan.
4. Melakukan hubungan suami istri di siang hari puasa dengan sengaja. Untuk
yang keempat ini tidak hanya membatalkan puasa, tetapi orang yang melakukannya
juga dikenai denda (kafarat). Denda tersebut berupa melakukan puasa (di luar
Ramadhan) selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak maka ia harus memberi
makan satu mud (0,6 kg beras atau ¼ liter beras) kepada 60 fakir miskin.
5.
Keluar air mani (sperma) sebab
bersentuhan kulit. Seperti mani yang keluar karena melakukan onani atau
bersentuhan kulit dengan lawan jenis tanpa melakukan hubungan seksual. Berbeda
jika keluar mani sebab mimpi basah (ihtilam), maka puasanya tetap sah.
6. Haid atau nifas saat siang hari berpuasa. Wanita yang mengalami haid atau
nifas, selain puasanya batal juga diwajibkan untuk mengqadhanya ketika Ramadhan
usai nanti.
7.
Mengalami gangguan jiwa atau gila (junun) saat sedang berpuasa. Orang yang
sedang melaksanakan puasa Ramadhan di siang hari, kemudian gila, maka puasanya
batal. Orang tersebut harus mengqadhanya jika ia sudah sembuh.
8. Murtad
atau keluar dari agama Islam. Artinya, jika orang yang sedang berpuasa
melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya murtad seperti menyekutukan Allah
swt atau mengingkari hukum-hukum syariat yang telah disepakati ulama (mujma’
‘alaih).