Friday, 28 February 2025

Sebagian Kecil Dari Ilmu Fikih

Oleh : Sihab



FIKIH

SEPUTAR WUDHU, SHOLAT DAN PUASA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh :

Mohamad Sihabudin, M.Pd.

 

 

 

1.       Pengantar Ilmu

Perlu diketahui bahwa ada tiga ilmu penting yang hukumnya wajib untuk dipelajari oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai muslim sejati. Diantarnya adalah ilmu tasawuf ( akhlaq ),  ilmu akidah atau tauhid dan ilmu fikih yang akan dibahas pada makalah ini.

Pada makalah ini kita akan khusus mempelajari Sebagian kecil dari ilmu fikih yaitu ilmu tatacara dalam beribadah kepada Allah baik ibadah yang langsung kepada Allah atau ibadah yang tidak langsung. Dengan mempelajari ilmu fikih, manusia akan mengetahui bagaimana tatacara berwudhu, sholat, puasa, ibadah haji bahkan sampai tatacara bersuci.

Kita wajib tahu bagaimana tatacara beribadah kepada Allah yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist. Ilmu fikih ini sangat penting contohnya tatacara berwudhu, apabila wudhu kita tidak sah maka sholat pun tidak akan sah dan apabila sholatnya tidak sah maka tidak akan diterima oleh Allah SWT.

2.       WUDHU

Berikut merupakan dali perintah berwudhu sebelum shalat:  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِييَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إإِلَى الْكَعْبَيْنِ 

Artinya: Wahai orang yang beriman, bila kalian hendak shalat, basuhlah wajah kalian, tangan kalian hingga siku, usaplah kepala kalian, dan (basuhlah) kaki kalian hingga mata kaki (Surat Al-Maidah ayat 6).


Selain itu Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam hadits yang menerangkan penolakan shalat tanpa bersuciلَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ 

Artinya: Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (HR Muslim).

a.       Syarat – syarat dan Rukun – rukun Wudhu

Syarat Sah Wudhu

Rukun Wudhu

Beragama islam

Niat

Tidak berhadas besar

Membasuh Muka

Menggunakan Air suci dan menyucikan

Membasuh Tangan sampai sikut

Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit

Mengusap sebagian kepala

Tamyiz (bisa membedakan baik dan buruk)

Membasuh kaki sampai mata kaki

 

Tertib ( berurutan )

 

b.       Hal – hal Yang Membatalkan Wudhu

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, seorang ulama mazhab Syafi‘iyah dalam kitabnya yang berjudul Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun) Halaman 25-27 menjelaskan, ada 4 hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan hadats, yaitu sebagaimana berikut:


 

1)      Keluar Sesuatu dari Qubul dan Dubur

Selain sperma, apa pun yang keluar dari lubang qubul (kelamin) dan dubur (anus) baik berupa air kencing, angin atau kotoran, barang suci atau najis, kering atau basah, dan sebagainya, itu semua bisa membatalkan wudhu. Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak membatalkan wudhu, namun yang bersangkutan wajib melakukan mandi junub.

Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

“.... salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air,”.

2)      Hilang Akal

Orang yang hilang akal atau kesadarannya entah itu karena tidur, gila, mabuk, atau pingsan maka wudhunya menjadi batal. Rasulullah Saw bersabda:

فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)

Namun demikian, ada tidur yang tidak membatalkan wudhu, yaitu posisi tidurnya duduk dengan menetapkan pantat pada tempat duduknya sehingga tidak memungkinkan keluarnya kentut.

3)      Bersentuhan Kulit

​​​​​​​Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang keduanya telah baligh, bukan mahram, dan tanpa penghalang bisa membatalkan wudhu. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“... atau kalian menyentuh perempuan.”

Adapun sentuhan kulit yang tidak membatalkan wudhu adalah antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, dan laki-laki dengan perempuan yang menjadi mahramnya. Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal ketika terjadi sentuhan yang terhalang oleh sesuatu, misalnya kain.

Demikian pula tidak batal wudhunya bila seorang laki-laki yang sudah baligh bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang belum baligh atau sebaliknya. Lalu bagaimana dengan wudhu sepasang suami istri yang bersentuhan kulit?

Wudhu tersebut menjadi batal karena pasangan suami istri bukanlah mahram. Seorang perempuan disebut mahram jika perempuan tersebut haram untuk dinikahi oleh seorang laki-laki. Sebaliknya, seorang perempuan disebut bukan mahram bila boleh dinikahi oleh seorang laki-laki.

Sepasang suami istri adalah dua orang berbeda jenis kelamin yang boleh menikah. Karena keduanya diperbolehkan menikah alias bukan mahram, maka saat bersentuhan kulit tentu wudhunya menjadi batal.

4)      Menyentuh Qubul dan Dubur ( untuk buang air kecil dan untuk buang air besar)

Menyentuh kemaluan dan lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan bisa membatalkan wudhu. Rasulullah bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)

Wudhu seseorang bisa menjadi batal dengan menyentuh kemaluan atau lubang dubur manusia, baik dari orang yang masih hidup atau sudah mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau dewasa, sengaja atau tidak sengaja, atau kemaluan yang disentuh itu telah terputus dari badan. Adapun wudhu orang yang disentuh kemaluannya tidak menjadi batal kecuali jika keduanya sudah baligh sebagaimana pada poin ketiga.

Selain itu, wudhu juga tidak menjadi batal jika menyentuh kemaluan dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan atau menggunakan perantara benda, seperti pakaian, kain, kayu, dan sebagainya. Wallahu a‘lam

3.       SHOLAT

Syarat Shalat 
Lazim diketahui bahwa syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat wajib dan syarat sah. Syarat wajib ini maknanya, seseorang tidak dibebani kewajiban shalat ketika salah satu dari syarat-syaratnya tak terpenuhi. 


1. Beragama Islam 
2. Balig 
3. Berakal sehat, 
4. Tidak sedang haid atau nifas, 
5. Mendengar informasi ihwal dakwah Islam (Ini nyaris tak ditemukan sekarang), dan 
6. Memiliki pengelihatan dan pendengaran yang normal 

Dampaknya, tidak wajib shalat bagi yang tunanetra dan tunarungu sejak lahir. Sebab ia tak dapat menerima pelajaran shalat baik dengan isyarat atau kalimat.   


Syarat sah itu sendiri, sebagaimana Syekh al-Islam Abu Zakariya al-Anshari (925 H) dalam 
Tuhfah at-Thullab bi Syarhi Tahriri Tanqih al-Lubab, adalah ma tatawaqqafu ‘alaiha shihhatusshalah wa laisat minha, sesuatu yang menjadi barometer sah dan tidaknya shalat. Artinya, bila ini tidak terpenuhi, maka berdampak pada ketidakabsahan shalat. 

 

Terkait ini, Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut an-Nafis fi Madzhab Ibni Idris (halaman 140-147) membahas 15 syarat shalat secara rinci dan gamblang. 

 

Syarat shalat adalah;   
1.  Beragama Islam 
2.  Mumayyiz (syarat ini untuk mengecualikan orang gila dan anak kecil yang belum mengerti apa-apa) 
3.  Sudah masuk waktu shalat 
4.  Mengetahui fardhu-fardhu shalat 
5.  Tidak meyakini satu fardlu pun sebagai laku sunnah 
6.  Suci dari hadats kecil dan besar 
7.  Suci dari najis, baik pakaian, badan, maupun tempat shalat 
8.  Menutup aurat bagi yang mampu (dengan batasan tertentu bagi perempuan dan laki-laki) 
9.  Menghadap kiblat (kecuali bagi musafir yang melaksanakan shalat sunah, orang yang dalam kecamuk perang, dan orang yang buta arah ‘isytibahul qiblah’).
10. Tidak berbicara selain bacaan shalat 
11. Tidak banyak bergerak selain gerakan shalat (Imam Syafi’i membatasinya tiga gerakan) 
12. Tidak sambil makan dan minum 
13. Tidak dalam keraguan apakah sudah bertakbiratulihram atau belum 
14. Tidak berniat memutus shalat atau tidak dalam keraguan apakah akan memutus shalatnya atau tidak.
15. Tidak menggantungkan kebatalan shalatnya dengan sesuatu apa pun   

 

Rukun Shalat 
Dalam sebuah hadits dikatakan, 
shallu kama ra’aitumuni ’ushalli, shalatlah sebagaimana engkau melihat diriku melakukannya. Hadits sahih riwayat al-Bukhari ini mengajarkan bahwa tidak ada cara shalat selain seperti yang pernah Nabi lakukan berdasarkan riwayat para sahabatnya. 

 

Dan, para ulama berhasil merumuskan fardlu atau rukun shalat menjadi 15 (dengan menghitung tiap-tiap thuma’ninah [tenang, tak bergerak sejenak] sebagai satu rukun). 

 

Berikut rinciannya;   
1. Niat 
2. Takbiratulihram 
3. Memasang niat bersamaan dengan 
takbiratulihram 
4. Berdiri bagi yang mampu (hal ini berdasarkan hadits al-Bukhari yang artinya, 
‘Shalatlah dengan cara berdiri, bila tak mampu, maka boleh duduk. Bila tidak mampu juga, boleh sambil tidur miring’. 
Ada tambahan dalam riwayat an-Nasa’i, 
‘jika masih tidak mampu, boleh dengan terlentang, Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya’) 
5. Membaca surah al-Fatihah (berdasar pada hadits 
La shalata li man lam yaqra’ bi fatihatil kitab, “Shalat tak akan sah bagi yang tidak membaca surah al-Fatihah”. Bila tidak mampu, boleh membaca ayat lain yang diketahuinya. Jika masih tak mampu, boleh berdzikir atau membaca doa-doa, dan pilihan terakhir kalau tetap tak mampu adalah berdiam sekadar waktu membaca surah al-Fatihah) 
6. Rukuk 
7. I’tidal 
8. Sujud 
9. Duduk di antara dua sujud 
10. Thuma’ninah dalam empat rukun sebelumnya (rukuk, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud) 
11. Tasyahhud akhir 
12. Membaca shalawat Nabi setelah tasyahhud akhir 
13. Melafalkan salam 
14. Duduk untuk membaca tasyahud akhir, shalawat Nabi, dan salam 
15. Tertib dalam melakukan semua rukun di atas   

 

Rincian-rincian ini merupakan hal yang harus dipenuhi dalam shalat lahiriah. Adapun untuk shalat batiniah, satu hal yang tak boleh hilang, yaitu kesadaran akan esensi kerendahan kita sebagai hamba di hadapan keagungan Tuhan (rububiyyah). 

 


Inilah yang kita kenal dengan khusyuk. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 45:

 

   وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ  وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ   

 

Artinya: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. 

 

Imam Fakhruddin ar-Razi (604 H) mengatakan, khusyuk adalah at-tadzallul wa al-khudhû’ (memperlihatkan esensi kerendahan dan ketundukan) kepada Allah SWT. 

 

Terkait penggalan terakhir ayat di atas, sang mufasir kenamaan asal Iran ini, dalam masterpiece-nya Mafâtîhul Ghaib (juz 3, halaman 50) menjelaskan maksud ayat dan latar belakang ketidakkhusyukan seseorang dalam shalatnya. Ia mengatakan:


   وإنما المراد بقوله: وإنها ثقيلة على من لم يخشع  أنه من حيث لا يعتقد في فعلها ثوابا ولا في تركها عقابا فيصعب عليه فعلها   

 

Artinya: Maksud dari kalimat: ‘Shalat itu berat bagi yang tidak khusyuk’, yaitu dilihat dari aspek ketika ia tak meyakini pahala karena melakukan shalat, dan siksa karena meninggalkannya, sehingga tentu berat rasa saat melakukannya.   
 

Orang yang tidak mantap hati melihat kesungguhan Allah memberi ganjaran terbaik-Nya (pahala) bagi yang khusyuk, juga siksa terberat-Nya bagi yang meninggalkan, pastilah akan merasa berat melakukan shalat. Logika sederhananya, menurut ar-Razi, sungguh absurd bila seseorang rela sibuk lagi rutin melakukan sesuatu yang baginya tiada berguna sama sekali. Namun, bagi yang merasa bahwa hal itu sangat penting, bahkan pada dirinya terdapat candu spiritual (al-‘isyqu), pastilah akan ringan dan membahagiakan. Sehingga, tepat ketika Al-Qur’an menyifati mereka dengan lakabîrotun (rasa teramat berat).   

 

Ada banyak kisah kekhusyukan shalat para ulama shalafuna as-shalih yang bisa menjadi perenungan. Seperti kisah Dzun-Nun al-Mishri (180 H) yang ketika mengucapkan ‘Allahu Akbar’ dalam shalat, ia tersungkur lemas tanpa tenaga seakan raga tanpa nyawa. Juga seperti kisah Abu Sa’id Abul Khair Aqta’ (1049 M) yang pernah mengidap penyakit gangrene dan diamputasi—berdasarkan saran dari para muridnya yang mengetahui kondisi spiritual sang guru—saat ia tengah khusyuk dalam shalatnya.

 

4.       PUASA

Syarat Puasa

Rukun Puasa

Beragama Islam

Niat Puasa Ramadhan Pada Malam Hari

Baligh (ciri-ciri balighnya laki-laki dan perempuan berbeda. Bisa dilihat di ilmu fikih)

Menahan Diri Dari Segala Sesuatu Yang Membatalkan

Berakal Sehat

 

Mampu dan Kuat Berpuasa

 

Mengetahui Awal Masuk Bulan Ramadhan

 

 

Hal – hal yang Membatalkan Puasa :

1.       Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara sengaja. Artinya, jangan sampai ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam (jauf) seperti mulut, hidung, dan telinga. Jika hal itu tidak sengaja, maka puasa tetap sah.
2. Berobat dengan cara memasukkan obat atau benda melalui qubul (lubang bagian depan) atau dubur (lubang bagian belakang). Seperti pengobatan bagi orang yang menderita ambeien atau orang yang sakit dengan pengobatan memasang kateter urin.
3.
Muntah dengan disengaja. Orang yang muntah karena tidak disengaja maka puasanya tidak batal selama tidak ada muntahan yang ditelan.
4. Melakukan hubungan suami istri di siang hari puasa dengan sengaja. Untuk yang keempat ini tidak hanya membatalkan puasa, tetapi orang yang melakukannya juga dikenai denda (kafarat). Denda tersebut berupa melakukan puasa (di luar Ramadhan) selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak maka ia harus memberi makan satu mud (0,6 kg beras atau ¼ liter beras) kepada 60 fakir miskin.
 

5.       Keluar air mani (sperma) sebab bersentuhan kulit. Seperti mani yang keluar karena melakukan onani atau bersentuhan kulit dengan lawan jenis tanpa melakukan hubungan seksual. Berbeda jika keluar mani sebab mimpi basah (ihtilam), maka puasanya tetap sah.
6. Haid atau nifas saat siang hari berpuasa. Wanita yang mengalami haid atau nifas, selain puasanya batal juga diwajibkan untuk mengqadhanya ketika Ramadhan usai nanti. 

7. Mengalami gangguan jiwa atau gila (junun) saat sedang berpuasa. Orang yang sedang melaksanakan puasa Ramadhan di siang hari, kemudian gila, maka puasanya batal. Orang tersebut harus mengqadhanya jika ia sudah sembuh. 

8. Murtad atau keluar dari agama Islam. Artinya, jika orang yang sedang berpuasa melakukan hal-hal yang bisa membuat dirinya murtad seperti menyekutukan Allah swt atau mengingkari hukum-hukum syariat yang telah disepakati ulama (mujma’ ‘alaih).
 


No comments:

Post a Comment